Dari pengucilan ke pemberdayaan: Reformasi jilbab di Turkiye dan kebangkitan hak-hak perempuan
Dari pengucilan ke pemberdayaan: Reformasi jilbab di Turkiye dan kebangkitan hak-hak perempuan
Türkiye saat ini menjadi cerminan dari pertumbuhan demokrasi dan tata kelola yang inklusif — sebagai negara yang memberikan contoh global dengan menghilangkan hambatan sistemik dan menegaskan hak semua perempuan untuk bekerja dan belajar secara bebas.
24 April 2025

Selama beberapa dekade, jilbab menjadi pusat perdebatan politik dan sosial yang paling memecah belah di Turkiye. Bagi sebagian orang, jilbab dianggap sebagai ancaman simbolis. Namun, bagi yang lain, itu hanyalah ekspresi iman dan identitas. Dalam praktiknya, jilbab menjadi sumber eksklusi mendalam, di mana perempuan Muslim yang mengenakannya secara sistematis dilarang masuk universitas, bekerja di sektor publik, atau berpartisipasi di bidang profesional tertentu.

Selama dua dekade terakhir, Turkiye telah mengalami transformasi bersejarah.

Apa yang dulu menjadi simbol konflik kini menjadi penanda inklusi, ketika negara ini mencabut pembatasan lama yang pernah meminggirkan jutaan orang. Saat ini, perempuan berjilbab di Turkiye dapat dengan bebas menjabat di Parlemen, memimpin kantor pemerintahan, dan mengejar pendidikan tanpa takut diskriminasi atau eksklusi formal — di negara yang kini berupaya menyeimbangkan kebebasan beragama dan memberikan kemajuan bagi semua warganya.

Perubahan ini terjadi berkat serangkaian reformasi hukum dan politik, terutama “Paket Demokratisasi” tahun 2013 yang diperkenalkan oleh Perdana Menteri saat itu, Recep Tayyip Erdogan. Paket tersebut mencakup amandemen Pasal 5 peraturan kode pakaian, yang secara efektif mencabut larangan jilbab di institusi publik.

Perubahan ini menjadi titik fokus diskusi dalam sebuah panel tingkat tinggi yang diadakan pada 16 April di Universitas Ibn Haldun, Istanbul. Sumeyye Erdogan Bayraktar, Ketua Dewan Pengawas Yayasan Perempuan dan Demokrasi (KADEM), berbicara dalam acara yang bertajuk Hak untuk Berkeyakinan, Hak untuk Bekerja: Kebebasan Beragama Perempuan di Tempat Kerja.

“Sebagaimana keyakinan kita adalah bagian fundamental dari identitas kita, begitu pula hak kita untuk mengekspresikannya,” ujar Erdogan Bayraktar. “Namun, kita masih melihat perempuan berkualifikasi dikecualikan dari peluang kerja hanya karena mereka mengenakan jilbab.”

Ia juga menyinggung kekhawatiran internasional di luar perbatasan Turkiye, seperti larangan jilbab dalam olahraga yang kontroversial di Prancis. Erdogan Bayraktar mengecam apa yang ia sebut sebagai “pelanggaran nyata terhadap hak asasi manusia universal.”

Data dari Eropa menunjukkan gambaran yang suram: perempuan Muslim yang mengenakan jilbab memiliki kemungkinan hingga 40% lebih besar untuk mengalami diskriminasi dalam pekerjaan. Resume dengan foto perempuan berjilbab 65% lebih kecil kemungkinannya untuk mendapatkan panggilan balik.

Statistik ini menjadi pengalaman pribadi bagi banyak perempuan muda yang sedang merencanakan masa depan mereka di masyarakat Barat. Dua perempuan muda berbicara kepada TRT World:

“Tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan setelah saya lulus — terutama karena saya mengenakan jilbab,” kata Noreen A., seorang mahasiswa berusia 21 tahun di Inggris.

Di Jerman, Aysha Y., seorang mahasiswa berusia 20 tahun, mengungkapkan kekhawatiran tersebut: “Saya merasa peluang saya untuk mendapatkan pekerjaan yang baik jauh lebih kecil dibandingkan teman-teman saya yang tidak memiliki nama Muslim dan tidak mengenakan hijab.”

Di Turkiye, isu jilbab memanas pada akhir 1990-an, terutama setelah peristiwa kudeta pasca-modern 28 Februari 1997. Selama periode ini, perempuan dilarang masuk universitas, dicegah mengakses kesempatan akademik, dan diberhentikan dari pelayanan publik karena mengenakan jilbab.

Mengenang pengalamannya sendiri yang terpinggirkan selama masa itu, Erdogan Bayraktar menyerukan solidaritas global dan reformasi institusional untuk melindungi kebebasan beragama di tempat kerja.

Pergeseran dalam kebijakan dan kehidupan publik

Pada awal 2000-an, Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party) naik ke tampuk kekuasaan dan mulai secara bertahap menghapus pembatasan ini. Pada tahun 2007, debat publik kembali memanas ketika Abdullah Gul mencalonkan diri sebagai presiden sementara istrinya, Hayrunnisa Gul, mengenakan jilbab — sebuah isu yang menuai kritik dari kelompok sekuler.

Undang-undang tahun 2013 menjadi titik balik. Sejak saat itu, perempuan yang memilih mengenakan jilbab dapat menjadi anggota parlemen, duta besar, pegawai negeri, dan profesional di setiap bidang. Kehadiran mereka tidak hanya diterima — tetapi juga dinormalisasi.

Anggota Parlemen Patai AK, Tugba Isik Ercan, seorang pendukung vokal inklusi politik perempuan dan kepala cabang perempuan Partai AK, menekankan pentingnya perubahan ini saat berbicara kepada TRT World:

“Sebelum pemerintahan Parti AK, representasi perempuan di Majelis Nasional Agung hanya dua persen. Di bawah kepemimpinan Presiden kami, Recep Tayyip Erdogan, kami menghapus larangan jilbab. Itu adalah revolusi paling penting — tidak hanya untuk representasi perempuan di Parlemen, tetapi di semua bidang kehidupan publik.”

Panel pada tanggal 16 April menekankan perlunya perlindungan institusional yang berkelanjutan untuk melindungi kebebasan beragama di tempat kerja di seluruh dunia. Erdogan Bayraktar menyerukan reformasi kebijakan dan kerja sama internasional untuk memastikan perempuan tidak dihukum karena ekspresi keagamaan mereka.

“Ini bukan hanya masalah identitas agama,” katanya. “Ini tentang hak untuk ada, untuk hidup, untuk bekerja, dan untuk diperlakukan dengan martabat.”

Dalam tahun-tahun sejak perubahan legislatif, Turkiye telah menyaksikan peningkatan yang terlihat dalam partisipasi perempuan di dunia kerja.

Sebagaimana dirangkum oleh Anggota Parlemen Isik Ercan: “Turkiye telah bergerak maju. Perempuan kini bebas memilih karier apa pun yang mereka inginkan — baik mereka mengenakan jilbab atau tidak.”

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us