DUNIA
5 menit membaca
Arogansi Israel dan langkah tak terhindarkannya menuju kehancuran
Sejarah dipenuhi dengan kisah-kisah raja yang kuat dan kerajaan besar yang berakhir tragis karena terlalu percaya diri dan sombong. Negara Zionis tampaknya juga terkena penyakit yang sama.
Arogansi Israel dan langkah tak terhindarkannya menuju kehancuran
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dimulainya kembali genosida di Gaza hanyalah “awal,” dan memperingatkan bahwa negosiasi di masa mendatang akan terjadi “di bawah tekanan.” / AP
22 April 2025

Tidak mengejutkan jika kekejaman terbaru Israel terhadap warga Gaza tidak mendapatkan sorotan utama seperti yang seharusnya, karena berita itu tertutupi oleh kisah spektakuler lain: seorang presiden Amerika yang bersikeras memulai perang dagang yang diprediksi akan mengguncang ekonomi global.

Banyak orang di seluruh dunia—termasuk mereka yang berasal dari wilayah yang dikenal sebagai basis dukungan bagi Israel—masih melihat isu Palestina sebagai ladang tempat keyakinan politik dan moral mereka berakar. Sebuah perjuangan yang menyentuh kedalaman nurani mereka sebagai manusia yang peduli.

Dan, memang, ada kebanggaan sekaligus beban berat dalam keterlibatan ini.

Maka, sekali lagi, unjuk rasa digelar oleh mereka yang, setelah menyaksikan gambar-gambar memilukan dari pembantaian terbaru di Gaza, terdorong, seperti kata penyair Wales Dylan Thomas, untuk “melawan redupnya cahaya” di tanah yang begitu menderita itu.

Meski banyak yang mulai letih dengan isu Gaza, masih banyak pula yang merasa mereka harus bersuara—apa pun risikonya—agar tidak termasuk golongan yang diam dan tak peduli.

Awal bulan ini, puluhan bus dari sedikitnya 50 kota di seluruh Amerika Serikat mengangkut ribuan demonstran pro-Palestina ke ibu kota untuk aksi besar. Dalam acara itu, para pembicara mendesak pemerintah menghentikan dukungan militer dan diplomatik terhadap perang Israel di Gaza.

Tak diragukan, waktu sangatlah penting. Sejak Israel melanggar gencatan senjata pada dini hari 18 Maret, mereka meluncurkan serangan besar dari kapal perang dan puluhan jet tempur yang menewaskan sekitar 400 pria, wanita, dan anak-anak hanya dalam 10 menit. Ratusan lainnya telah tewas sejak saat itu.

Jika horor sebesar itu belum cukup untuk membuat orang turun ke jalan dan memprotes, lalu apa lagi?

Sejak hari pertama perang, tak terhitung jumlah demonstrasi telah digelar di seluruh dunia—dari Yaman hingga Islandia, Indonesia hingga Brasil. Semuanya menyerukan agar kekacauan diakhiri. Namun Israel tetap tak tergoyahkan oleh resolusi Majelis Umum PBB, laporan-laporan organisasi HAM, bahkan oleh dakwaan dari Mahkamah Internasional (ICJ) dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Kesalahan Fatal

Dengan keyakinan bahwa mereka akan selalu mendapat perlindungan dari kekuatan besar di Washington, Israel terus menutup telinga terhadap suara selain suara mereka sendiri. Mereka mengejar ambisi akan hegemoni dan lebensraum di Timur Tengah.

Inilah yang disebut sebagai kesombongan—atau dalam istilah Yunani: hubris.

Hubris adalah tema yang berulang, tidak hanya dalam mitologi Yunani—di mana ia dianggap sebagai bentuk tantangan terhadap “tatanan ilahi”—tetapi juga dalam sejarah peradaban manusia. Para sejarawan seperti Ibn Khaldun hingga Arnold Toynbee menyebut hubris sebagai kesalahan fatal yang menjatuhkan bahkan bangsa terkuat.

Dalam bentuk ekstremnya, hubris—yakni kepercayaan diri berlebihan yang dibarengi dengan arogansi—membuat seseorang atau sebuah bangsa kehilangan pijakan pada realitas dan mengabaikan hukum sejarah.

Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Israel saat ini mewakili hubris paling mencolok di dunia. Dan bila ambisi hegemoniknya dikenal luas, itu karena Israel sendiri kerap memamerkannya.

Akar dari ambisi ini bisa ditelusuri kembali ke kampanye militer bernama Plan Dalet—dokumen penting bagi siapa pun yang ingin memahami tujuan akhir Israel di Gaza dan Tepi Barat, wilayah yang sudah hampir enam dekade berada di bawah pendudukan Israel.

Plan Dalet, atau Plan D, adalah cetak biru militer Israel pada tahun 1948 untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka, dengan daftar desa dan kota yang harus dikosongkan, serta instruksi untuk menghancurkan komunitasnya.

Hasilnya? Sekitar 750.000 warga Palestina menjadi pengungsi, dan seluruh harta benda mereka disita.

Seperti kata pepatah lama, semakin banyak hal berubah, semakin tetap sama.

Kembali ke Masa Depan

Plan D sejatinya tak pernah berhenti. Ia diam-diam dihidupkan kembali pada 13 Oktober 2023, enam hari setelah pecahnya perang di Gaza, dalam dokumen resmi Israel yang kemudian bocor ke media, bernama Concept Paper. Isinya adalah rencana etnis pembersihan Gaza dari 2,3 juta warganya dan relokasi mereka ke Semenanjung Sinai.

Pada intinya, perang Israel di Gaza bukanlah tentang melawan Hamas.

Hamas hanya dijadikan alasan, dalih untuk menghancurkan Gaza—misi yang nyaris rampung secara destruktif—agar bisa dikosongkan dari rakyat Palestina dan dibangun kembali bagi para pemukim Yahudi.

Apa yang terjadi di bagian utara Gaza dalam beberapa bulan terakhir memperkuat kesimpulan itu.

Dan Israel juga telah mengisyaratkan, tanpa malu-malu, bahwa nasib serupa menanti Tepi Barat—sisa kecil dari Palestina historis yang masih bertahan sejak tahun 1948. Mereka tidak peduli terhadap hukum internasional atau siapa pun yang mencoba menegakkannya.

Mereka merasa dilindungi oleh kekuatan besar, dan karena itu berani menantang “tatanan ilahi” dan menganggap bisa lolos tanpa konsekuensi. Terlalu percaya diri? Tanpa ragu.

Namun zaman berubah. Bahkan di AS, suasana publik mulai berbalik. Dalam survei The Economist yang dirilis Februari lalu, hanya sembilan persen pemilih Demokrat yang lebih bersimpati pada Israel dibanding Palestina.

Sejak perang pecah, isu Palestina telah menjadi arus utama dalam diskusi publik di AS. Isu ini dibicarakan oleh intelektual, seniman, kritikus sosial, dan tokoh-tokoh lain yang punya pengaruh dalam membentuk opini publik.

Dan jika negara Zionis terus bertindak seperti kerajaan Perang Salib yang penuh darah di Yerusalem pasca-1099—sebuah entitas bersenjata yang kelangsungannya hanya bergantung pada dukungan luar negeri—maka mereka sedang menanam benih kehancuran mereka sendiri.

Banyak buku telah ditulis tentang “negara gagal”, tetapi sedikit yang mengulas mengapa negara yang tampaknya stabil justru kadang-kadang secara irasional memilih jalan menuju kehancurannya sendiri. Arnold Toynbee, dalam karya besarnya A Study of History, menyimpulkannya dengan kalimat terkenal: “Peradaban mati karena bunuh diri, bukan pembunuhan.”

Ini bukan hanya berlaku bagi individu, tapi juga bagi seluruh bangsa.

Jadi, mengapa, Anda bertanya, Israel memilih jalan yang merusak dirinya sendiri? Cari tahu sendiri. Tanyakan pada terapis mereka.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us