Ketika Universitas Stanford merilis Artificial Intelligence Index 2025 Report awal bulan ini, laporan tersebut menarik perhatian tentang pertumbuhan dan kesuksesan Silicon Valley, Uni Eropa, dan China.
Namun, di antara grafik investasi bernilai miliaran dolar dan tren global yang muncul, terdapat kejutan besar: Turkiye.
Turkiye menempati peringkat tepat di belakang Swiss secara global dalam keterlibatan sektor publik di bidang AI. Negara ini menarik perhatian dengan ekosistem inovasi AI yang berkembang pesat, kontrak publik beranggaran besar, dan representasi gender yang seimbang dalam tenaga kerja teknologi informasi dan komunikasi (ICT)—melampaui banyak negara Barat dalam beberapa metrik tertentu.
“Temuan tahun ini menempatkan Turkiye sebagai negara dengan potensi untuk memimpin, bukan hanya mengejar, dalam bidang AI,” kata Tugba Dayioglu, seorang pakar kecerdasan buatan dan kepala departemen Sistem Informasi Manajemen di Universitas Nisantasi, Istanbul.
“Ini bukan hanya tentang teknologi lagi. Turkiye sedang memposisikan AI sebagai kekuatan sosial-ekonomi dan politik,” ujar Dayioglu kepada TRT World.
Antara tahun 2013 dan 2023, Türkiye secara bertahap meningkatkan investasinya di bidang AI, yang berpuncak pada kontrak publik AI beranggaran besar. Investasi ini menunjukkan fokus strategis pada inovasi yang didukung negara.
“Kontrak-kontrak ini menunjukkan komitmen Turkiye terhadap infrastruktur dasar AI,” jelas Dayioglu. “Ini adalah tanda bahwa AI diperlakukan sebagai prioritas nasional.”
Lanskap perekrutan juga mulai mengejar ketertinggalan.
Menurut laporan tersebut, Turkiye mengalami peningkatan signifikan dalam lowongan pekerjaan terkait AI antara tahun 2018 dan 2024. Talenta teknologi di negara ini, yang sebelumnya lebih banyak diarahkan untuk peran outsourcing dan peran pendukung, kini mulai membangun produk mereka sendiri—seperti robotika, solusi pembelajaran mesin, dan lainnya.
Secara mencolok, Turkiye melampaui negara-negara seperti Inggris dan Thailand dalam penerapan sistem robotika industri—sebuah pencapaian mengejutkan untuk negara yang sering diabaikan dalam lingkaran manufaktur maju.
Keseimbangan gender yang patut diapresiasi
Salah satu pencapaian menonjol dalam laporan tersebut adalah keseimbangan gender di tenaga kerja AI Turkiye. Dengan rasio gender ICT sekitar 0,96, Turkiye berada di antara negara-negara teratas secara global dalam hal kesetaraan gender di bidang terkait AI.
“Ini mencerminkan perubahan budaya,” kata Dayioglu. “Ada antusiasme yang tumbuh dari baik pria maupun wanita untuk terlibat dengan AI—bukan hanya sebagai pengguna tetapi juga sebagai pencipta dan inovator.”
Namun, tantangan tetap ada. Meskipun wanita menunjukkan minat dan partisipasi yang kuat, pria masih mendominasi dalam hal keahlian teknis mendalam dan spesialisasi AI.
Meski begitu, dibandingkan dengan tren global, kesetaraan relatif Turkiye adalah keberhasilan yang patut dicontoh.
Laporan tersebut juga meneliti sikap masyarakat terhadap AI di berbagai negara.
Di Turkiye, lebih dari separuh populasi menyatakan minat dan antusiasme terhadap AI—namun dengan porsi yang sama besar menyimpan keraguan.
“Orang-orang antusias, tetapi ada juga rasa takut,” kata Dayioglu. “Kekhawatiran tentang privasi, keamanan data, dan penyalahgunaan AI dalam pengawasan atau profil adalah nyata.”
Seiring Turkiye memperluas sistem AI-nya, permintaan publik untuk regulasi data yang lebih kuat semakin meningkat.
Hal ini mencerminkan pola global, tetapi kecemasan lokal diperkuat oleh kurangnya kerangka regulasi yang komprehensif dibandingkan, misalnya, Uni Eropa.
Menjembatani kesenjangan hukum
Undang-Undang Kecerdasan Buatan Uni Eropa, yang mulai berlaku pada tahun 2024, mengklasifikasikan sistem AI berdasarkan tingkat risiko dan melarang aplikasi tertentu seperti penilaian sosial dan profil biometrik.
Turkiye, meskipun tidak terikat oleh regulasi tersebut, menggunakan undang-undang itu sebagai pedoman.
“Lingkungan hukum Turkiye masih berkembang,” jelas Dayioglu. “Ada upaya yang sedang berlangsung—seperti kerangka tata kelola AI dari Kantor Transformasi Digital dan struktur keamanan siber yang sedang muncul—tetapi ekosistem regulasi yang harmonis masih diperlukan.”
Ada juga gerakan untuk mendirikan Kementerian Keamanan Siber baru—sebuah tanda bahwa Turkiye memperlakukan dimensi etika dan keamanan AI dengan keseriusan yang diperlukan.
Kekuatan yang transformatif
Dari kesehatan hingga pertahanan, pendidikan hingga keuangan, AI semakin terintegrasi ke dalam inti kerangka ekonomi dan pemerintahan Turkiye.
Produktivitas yang ditingkatkan AI di sektor-sektor ini diperkirakan telah tumbuh hingga 30 hingga 50 persen—sebuah bukti penerimaan proaktif Turkiye terhadap teknologi cerdas.
Selain itu, Turkiye mengikuti tren global dengan mempersiapkan tenaga kerjanya untuk era AI.
Peran baru seperti "insinyur prompt" mulai bermunculan, dan institusi pendidikan perlahan memperbarui kurikulum mereka untuk mencerminkan tuntutan ekonomi yang diperkuat AI.
Namun, revolusi AI datang dengan risiko.
“Kami masih menghadapi kekhawatiran tentang kolonialisme digital—menjadi penyedia data tetapi bukan produsen teknologi,” kata Dayioglu. “Jika Turkiye tidak berinvestasi dalam model dasarnya sendiri, kita bisa jatuh ke dalam perangkap itu.”
Sementara AS, China, dan Uni Eropa terus mendominasi geopolitik AI, posisi Turkiye menawarkan cerita yang berbeda—tentang pertumbuhan cepat dan adaptif dalam ekonomi yang sedang berkembang. Turkiye tidak memimpin atau tertinggal, tetapi sedang bangkit.
Laporan 2025 menekankan bahwa AI bukan lagi sekadar alat—tetapi penggerak transformasi ekonomi, politik, dan budaya. Bagi Turkiye, transformasi itu sedang berlangsung.
“Pada akhirnya,” kata Dayioglu, “laporan ini menunjukkan bahwa Turkiye tidak hanya bereaksi terhadap perkembangan AI global—tetapi secara aktif membentuk masa depannya. Itu adalah pesan yang paling optimis dari semuanya.”