DUNIA
6 menit membaca
Memecah kemitraan 'tanpa batas' China-Rusia akan sulit bagi AS
Meski tak sepenuhnya sekutu, hubungan transaksional antara Beijing dan Moskow justru menjadi fondasi erat yang menahan keduanya dari perceraian geopolitik yang mungkin terjadi.
Memecah kemitraan 'tanpa batas' China-Rusia akan sulit bagi AS
Saat Washington berupaya mengganggu kemitraan 'tanpa batas' mereka, Wang Yi dari China dan Sergei Lavrov dari Rusia menegaskan kembali hubungan mereka yang semakin dalam selama pembicaraan di Moskow, 1 April 2025. / Reuters
29 April 2025

Selama beberapa bulan terakhir, pemerintahan Trump telah menguji batas-batas rekonsiliasi dengan Moskow, dengan harapan dapat mengisolasi China melalui pemanfaatan friksi historis antara Rusia dan tetangganya di timur itu.

Logika ini diambil dari strategi era Perang Dingin, ketika Washington berhasil menarik Beijing keluar dari orbit Soviet. Namun, mengulangi keberhasilan tersebut saat ini akan jauh lebih sulit, meskipun ada optimisme.

China dan Rusia kini menjalin kemitraan strategis “tanpa batas”, sebuah perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan berbeda jauh dari hubungan yang lebih hati-hati dan terbatas yang mereka miliki pada era 1990-an dan 2000-an.

Hubungan strategis “tanpa batas” ini mencakup seluruh aspek hubungan bilateral, terutama dalam bidang perdagangan, militer, dan politik—tanpa campur tangan pihak ketiga. Ini menjadi fondasi bagi upaya mereka untuk mendorong tatanan dunia multipolar.

Artinya, hari ini Rusia dan China tak lagi larut dalam ilusi tentang perbedaan mereka, tetapi justru menemukan kenyamanan dalam kerja sama pragmatis serta ketidakpercayaan bersama terhadap Barat.

Hubungan antara Moskow dan Washington merosot tajam sejak 2014, ketika Rusia mencaplok Semenanjung Krimea.

Setelah invasi besar-besaran ke Ukraina pada Februari 2022, hubungan AS-Rusia jatuh ke titik terendah baru, terlihat dari sanksi besar-besaran yang dijatuhkan Washington, penguatan NATO lewat masuknya Finlandia dan Swedia, serta revitalisasi hubungan aliansi AS dengan negara-negara Eropa.

Karena itu, peluang terjadinya dialog langsung antara Washington dan Moskow tampak sangat kecil, terutama karena hal tersebut akan menyingkirkan peran Eropa dan membahayakan aliansi transatlantik.

Namun, beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa Washington justru sangat tertarik untuk menjalin rekonsiliasi dengan Moskow, bahkan jika itu harus mengorbankan kepentingan sekutu-sekutunya. Dorongan utama dari upaya ini adalah tujuan geopolitik lama Amerika Serikat: mengalihkan fokus dari kawasan Eropa dan Timur Tengah ke kawasan Indo-Pasifik.

Target akhirnya adalah untuk bersaing dengan China. Washington khawatir akan tertinggal secara militer, baik di darat maupun di laut.

Namun, bersaing dan membendung China tidak mungkin dilakukan jika Rusia benar-benar dijauhkan. Sebagian kalangan dalam politik AS sejak lama memelihara gagasan untuk menormalisasi hubungan dengan Rusia demi menekan China.

Ada logika tertentu di balik pendekatan ini. Rusia dan China bukanlah sekutu sejati dan secara historis memiliki hubungan yang tegang, baik di abad ke-19 maupun selama era Perang Dingin, yang memuncak pada perang singkat di tahun 1969 di sepanjang perbatasan mereka.

Seruan untuk pendekatan seimbang

Hubungan bilateral antara China dan Rusia juga cukup kompleks di Asia Tengah. Di kawasan ini, China telah melampaui Rusia sebagai mitra dagang utama dan investor terbesar bagi lima negara regional.

Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, China telah membuat terobosan besar dalam bidang keamanan—cakupan latihan militer dan penjualan senjata buatan China kepada negara-negara Asia Tengah terus meluas.

Rusia juga bersikap waspada terhadap ambisi China di wilayah Kaukasus Selatan, di mana Beijing telah menandatangani perjanjian kemitraan strategis dengan Georgia dan Azerbaijan masing-masing pada 2023 dan 2024, serta meningkatkan hubungan dengan Baku pada April tahun ini. Beijing juga mendorong jalur perdagangan baru—seperti rel kereta China-Kirgistan-Uzbekistan—yang melewati Asia Tengah dan Kaukasus Selatan tanpa melintasi wilayah Rusia.

Di sisi lain, dalam perspektif yang lebih luas, Amerika Serikat mungkin melihat peluang untuk membatasi keterlibatan Rusia dengan China. Sejak 2022, kebijakan luar negeri Rusia sangat condong ke Asia. Sebelum perang di Ukraina, para pengambil kebijakan Rusia masih mampu menjaga keseimbangan antara hubungan dengan Barat dan Asia.

Kini, penekanan terhadap Asia begitu mencolok di Moskow. Meski secara ekonomi hal ini menguntungkan, sejumlah politisi dan analis Rusia sesekali menyerukan perlunya pendekatan yang lebih seimbang.

Pelajaran dari era Perang Dingin?

Meskipun hal ini bisa menjadi dasar bagi perbaikan hubungan antara Moskow dan Washington, upaya untuk sepenuhnya menarik Rusia menjauh dari China tampaknya sulit berhasil. Perbandingan dengan era Perang Dingin pun terasa kurang tepat—bahkan sebaliknya, kondisinya kini sangat berbeda.

Rusia dan China kini merasa nyaman dengan hubungan bilateral mereka, dan keduanya melihat Amerika Serikat sebagai pesaing geopolitik utama.

Walaupun mereka memiliki perbedaan di Asia Tengah dan Kaukasus Selatan, Beijing dan Moskow tidak mengalami ketegangan atau perselisihan seperti yang pernah mewarnai hubungan Tiongkok-Soviet selama era Perang Dingin.

Saat itu, Uni Soviet dan China berada pada posisi geopolitik yang saling bertentangan. Keduanya adalah negara besar dengan populasi besar, wilayah luas, dan senjata nuklir. Mereka sama-sama ambisius dalam meningkatkan pengaruh global. Moskow kerap meremehkan Beijing, dan hal itu ditanggapi dengan ketidaksenangan serta perlawanan dari pihak China.

Kedua negara bahkan sempat terlibat perang singkat di perbatasan mereka. Ini menunjukkan bahwa perbedaan mereka sangat dalam, dan kondisi tersebut menciptakan peluang bagi Amerika Serikat pada 1970-an untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan China, dengan mengorbankan Uni Soviet. Tentu saja, rekonsiliasi AS-China bukanlah penyebab langsung runtuhnya Uni Soviet, namun langkah itu memberi tekanan signifikan terhadap Moskow sepanjang dekade 1980-an.

Bukan hanya faktor Soviet yang memotivasi Washington dan Beijing pada era Perang Dingin. Faktor perdagangan juga berperan: China secara perlahan membuka diri, dan Amerika Serikat dengan antusias mencari pasar-pasar baru yang belum tergarap.

China membutuhkan teknologi dan investasi, sementara AS menginginkan tenaga kerja murah. Keduanya saling melengkapi saat itu. Namun, apakah dinamika serupa juga berlaku hari ini antara Rusia dan Amerika Serikat—cukup untuk membuat mereka lebih percaya diri dalam menghadapi China?

Kebijakan luar negeri yang fleksibel

Meski ada ketidaksepakatan, Rusia dan China sama-sama cukup lentur. Kedua kekuatan ini mengadopsi gaya hubungan transaksional yang memberi ruang bagi masing-masing untuk tetap luwes dalam kebijakan luar negeri. Bagi mereka, aliansi menyeluruh adalah hal yang tidak nyaman dan lebih merupakan konsekuensi dari pendekatan Barat terhadap urusan internasional.

Bahkan jika Moskow dan Washington mencapai titik terang dalam hubungan mereka, Rusia kemungkinan besar tetap tidak akan sepenuhnya melepaskan diri dari China.

Pertama, langkah semacam itu nyaris mustahil dari sisi ekonomi (karena porsi China dalam perdagangan Rusia terus meningkat). Hingga awal 2025, China menyumbang 31 persen ekspor Rusia dan 39 persen impornya, menurut Bank Sentral Rusia. Kedua, kedua negara menikmati kerja sama keamanan yang erat.

Selain itu, para politisi Rusia kecil kemungkinan akan melakukan putar balik ke arah Barat, apalagi di tengah era yang semakin menunjukkan ciri multipolar. Moskow juga menyadari bahwa upaya-upaya Washington saat ini bisa jadi hanya bersifat sementara, seiring masa jabatan pemerintahan AS yang sekarang. Sikap positif bisa berubah drastis jika presiden baru terpilih pada 2028.

Lebih jauh lagi, sekalipun ada fondasi bagi kebijakan AS untuk mengisolasi China, upaya tersebut tetap akan mengharuskan Washington untuk menarik diri dari kawasan Eurasia. Hal ini terbukti sangat sulit dilakukan selama beberapa dekade terakhir.

Setiap presiden AS sejak awal 2000-an telah mencoba poros ke Asia, namun justru semakin terperangkap di Timur Tengah—dan kini, di Ukraina. China justru diuntungkan oleh keterlibatan dan perhatian Washington yang terpecah ini, baik di masa lalu maupun saat ini.

Seiring lambatnya kemajuan dalam negosiasi soal Ukraina dan perang Israel di Gaza, tidak ada jaminan bahwa AS akan berhasil kali ini. Melepaskan diri dari Timur Tengah dan wilayah Laut Hitam bukan hanya mahal dan menyita waktu, tapi juga sangat sulit dicapai.

Pecahnya kemitraan China-Rusia, oleh karena itu, sangat kecil kemungkinannya. Mengingat tidak adanya antagonisme antara keduanya, serta berbagai kendala struktural yang dihadapi AS di wilayah lain, proses penyesuaian ulang kebijakan luar negeri menuju Indo-Pasifik akan berjalan lambat dan penuh hambatan.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us