DUNIA
3 menit membaca
Ekuador gelar putaran kedua pilpres yang ketat di tengah krisis ekonomi dan kekerasan
Pemilihan umum kali ini didominasi oleh kemarahan publik terhadap ekonomi yang lesu dan kekerasan kartel narkoba, yang telah mengubah Ekuador dari salah satu negara paling aman di Amerika Latin menjadi salah satu yang paling mematikan.
Ekuador gelar putaran kedua pilpres yang ketat di tengah krisis ekonomi dan kekerasan
Pendukung calon presiden petahana Daniel Noboa menyemangatinya di Quito, Ekuador, 9 April 2025. / AP
14 April 2025

Warga Ekuador memberikan suara pada Minggu dalam pemilihan presiden putaran kedua yang hasilnya sulit diprediksi. Petahana Daniel Noboa menghadapi penantang karismatik dari sayap kiri, Luisa Gonzalez, dalam kontestasi yang berlangsung di bawah bayang-bayang kekerasan terkait narkoba.

Noboa, presiden berusia 37 tahun, menang tipis dalam putaran pertama Februari lalu, namun gagal menghindari putaran kedua melawan Gonzalez, yang berupaya menjadi presiden perempuan pertama di Ekuador.

Kemarahan atas krisis ekonomi dan meningkatnya kekerasan menjadi isu utama pemilu. Kekerasan kartel telah menjadikan Ekuador sebagai salah satu negara dengan tingkat pembunuhan tertinggi di kawasan.

Di ibu kota Quito, yang dikelilingi pegunungan Andes, para pemilih mengenakan pakaian hangat dan memadati tempat pemungutan suara sejak pagi. Sekitar 13,7 juta warga Ekuador terdaftar sebagai pemilih.

“Saya pikir Ekuador sedang terpecah, tapi saya rasa kita semua tahu bahwa kita harus bersatu, siapa pun yang memimpin,” ujar Camila Medina, mahasiswa arsitektur berusia 21 tahun.

Menjelang pemungutan suara, Noboa menetapkan status darurat selama 60 hari di Quito dan sejumlah provinsi, mencerminkan ketegangan situasi menjelang pemilu.

Negara yang sebelumnya damai ini kini rata-rata mencatat satu kasus pembunuhan setiap jam, seiring perebutan jalur perdagangan kokain oleh kartel yang melewati pelabuhan-pelabuhan Ekuador.

Noboa, putra miliarder bisnis pisang dan juga seorang gitaris, mempertaruhkan masa jabatannya pada pendekatan keamanan “tangan besi” untuk memberantas kelompok kriminal. Ia telah mengerahkan militer ke jalanan, menangkap bos narkoba, dan membuka pintu bagi kehadiran pasukan khusus Amerika Serikat.

Sebaliknya, Gonzalez, ibu tunggal berusia 47 tahun, menampilkan citra sebagai politisi akar rumput dengan fokus pada pengentasan kemiskinan. Ia berasal dari keluarga sederhana dan membangun basis dukungan dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.

Kekerasan yang merajalela telah berdampak pada investasi dan pariwisata, memperburuk kondisi ekonomi dan mendorong angka kemiskinan menjadi 28 persen.

‘Lahir dengan masalah’

Ekuador menghadapi dua arah politik yang sangat berbeda tergantung pada siapa yang menang.

Jika Noboa terpilih kembali, ia diperkirakan akan melanjutkan kebijakan keamanan garis keras dan mempererat hubungan dengan Presiden AS Donald Trump. Sebaliknya, kemenangan Gonzalez akan menandai pergeseran tajam ke kiri dan berpotensi mendinginkan hubungan dengan Washington.

Gonzalez dikenal memiliki hubungan erat dengan mantan presiden Rafael Correa, sosok kontroversial yang kerap mengkritik kebijakan AS. Correa kini tinggal di pengasingan di Belgia, menghindari hukuman korupsi yang ia anggap bermotif politik.

“Kita akan mencetak sejarah untuk Ekuador!” seru Gonzalez saat memberikan suara di kampung halamannya di pesisir Pasifik. “Kami siap membela demokrasi.”

Pada putaran pertama Februari lalu, selisih suara antara Noboa dan Gonzalez kurang dari satu persen, atau sekitar 17.000 suara.

Kedua kandidat menutup kampanye mereka pada Kamis di Guayaquil, kota terbesar di negara itu sekaligus pusat ekonomi dan episentrum kekerasan narkoba.

Gonzalez mengincar pemilih perempuan di akhir kampanye dengan janji pinjaman berbunga rendah hingga $40.000 untuk ibu tunggal.

“Di bawah pemerintahan Noboa, kekerasan, kemiskinan, dan pengangguran paling berdampak pada kami, para perempuan,” katanya.

Noboa memposisikan dirinya sebagai sosok luar sistem politik lama dan agen perubahan.

“Negara ini tidak layak dipimpin oleh para politisi lama yang sama,” ujarnya, menyinggung kedekatan Gonzalez dengan Correa.

Sejumlah analis khawatir hasil yang ketat bisa memicu tudingan kecurangan dan melahirkan pemerintahan dengan mandat yang lemah.

“Jika perbedaannya sangat kecil, pemerintah akan lahir dengan masalah: hampir separuh negara menentangnya, dan itu akan menjadi beban berat yang menyulitkan jalannya pemerintahan,” kata Simon Pachano dari lembaga ilmu sosial FLACSO.

SUMBER:AFP
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us